Kamis, 18 Juni 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman (Part 4) – Akhir Penantian



Semua ibu hamil tahu, satu bulan terakhir menjelang HPL adalah masa-masa yang secara psikologis melelahkan tapi seru. Mimpi menggendong dan menimang-nimang bayi menjadi penanda paling lumrah dari wujud "kangen“ dan penasaran yang amat sangat terhadap kelahiran si buah hati. Setiap kontraksi, seberapapun kecilnya, menumbuhkan emosi yang campur aduk. Tak terkecuali bagi saya. Di satu sisi, saya berdoa agar "sinyal-sinyal cinta“ (demikian kami menyebut rasa ngilu tiap kontraksi) tersebut mempermudah si kecil mencari jalan lahirnya. Di sisi lain, seringkali saya was-was jika si bocah memaksakan keluar sebelum ia benar-benar siap (baca: prematur).
Oleh dokter kandungan, HPL (Hari Perkiraan Lahir) anak kami ditentukan pada 6 Mei 2020, pertengahan Ramadhan 1441 H. Tepat menjelang pagi di hari tersebut, saya terbangun dari tidur serasa mendapati kasur saya basah. Saya duduk sejenak dan meraba perut yang belum menunjukkan tanda-tanda kontraksi. “Kita ke Rumah Sakit sekarang ya Nak . . .”.
Bergegas saya bangunkan suami yang masih lelap tidur. Tanpa banyak kata saya tunjukkan kepadanya rembesan air di kasur. Ia mafhum dan kamipun melakukan langkah-langkah yang telah kami rencanakan sebelumnya. Pelan-pelan saya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Suami mengambil kasur dan memasukkannya ke dalam mesin cuci, mengangkat kasur dan meletakkannya di balkon serta mengepel bagian-bagian lantai yang lengket.
Sementara saya sarapan seadanya, suami menelepon Mbak Akrimi yang sudah sejak jauh hari kami minta kesediaannya untuk datang sewaktu-waktu diperlukan. Dua puluh menit kemudian, ia datang. Mbak Akrimi dan suaminya akan menemani Nabig (anak pertama kami) di rumah sementara Abah-Bundanya ke Rumah Sakit.
Sekitar pukul 7 pagi, taxi yang mengantar kami tiba di Rumah Sakit. Protokol Covid-19 masih berlaku. Hanya saya yang diperbolehkan masuk, sementara suami menunggu di luar. Bergegas saya diantarkan ke bagian persalinan dan diperiksa. Benar saja, air ketuban telah merembes. Si dokter jaga melakukan USG untuk memastikan seberapa banyak cairan tersisa. Tak lama berselang, dokter Weiz datang. Ia adalah dokter yang dulu memeriksa saya waktu berkunjung ke Rumah Sakit. Olehnya, diputuskan agar saya dirawat inap. Meskipun jumlah air ketuban di dalam rahim masih cukup, saya diminta untuk beristirahat total di Rumah Sakit. Saya minta suami lebih dahulu pulang. Nabig lebih butuh dia di rumah dari pada saya. Sejak Lockdown, taman kanak-kanaknya diliburkan hingga waktu yang belum ditentukan.
Saya diantar menuju kamar rawat inap. Keramahan si perawat yang menemani saya sejak awal tidak cukup menghilangkan kekhawatiran dan pikiran-pikiran buruk. Saya berusaha tenang dan mengingat-ingat apa yang saya alami pada kehamilan pertama. Waktu itu, ketuban juga merembes terlebih dahulu menjelang malam. Baru keesokan harinya saya melahirkan. Jika mengikuti pola ini, seharusnya besok atau paling cepat nanti malam saya melahirkan bayi kedua.
Tapi ada yang berbeda. Di kehamilan pertama, kontraksi secara teratur bermunculan pasca merembesnya air ketuban. Kali ini tidak.
<><><><> 
Kontraksi baru muncul menjelang tengah malam, sekitar pukul 9 pm. Kekuatan serta intensitasnya masih lemah dan belum konstan, kadang 10menit sekali, berikutnya setengah jam baru datang lagi. Saya menghubungi suami, yang lantas berinisiatif untuk meminta teman kami yang lain untuk menginap di rumah agar suami bisa segera menyusul ke Rumah Sakit setelah santap sahur dan menunaikan solat subuh keesokan harinya.
Praktis, malam itu saya tidak bisa tidur. Deg-degan tentu saja. Rasanya seperti seorang prajurit yang hendak pergi ke medan perang. Sebisa mungkin saya berdoa, membaca ayat kursi, Falaq binnas, serta surat apapun yang terlintas di benak saya. Tapi saya sangat bersukur, atas kontraksi alami, signal cinta dari buah hati datang tanpa harus di rangsang terlebih dahulu. Waktu terasa melambat. Ingin rasanya saya putar sendiri jarum jam dinding yang dengan angkuhnya menari-nari di atas kegelisahan saya hingga tertidur pulas.
Menjelang subuh saya bangun, demi mendapati seorang perawat mendorong kasur saya keluar ruangan, menuju kamar bersalin. Mulai jam 3 pagi, ketuban semakin merembes, demikian kontraksi sudah konstan dan kuat datang setiap lima menit sekali. Sebelumnya memang saya sudah diberi tahu bahwa suami boleh menemani ke rumah sakit saat kontraksi kuat sudah datang. Jam lima pagi kemudian datanglah suami saya menuju kamar bersalin membersamai saya. Sebelum memulai mengejan satu hal yang saya harus ingat, adalah menjaga energi dan stamina untuk mendorong si jabang bayi keluar. Saya sempatkan menyantap sarapan dan tidur sejenak, meski harus bangun setiap beberapa menit dikarenakan ngilu yang semakin menguat.
Sekitar pukul 9, dua wanita masuk ke kamar bersalin: seorang perawat setengah baya dan seorang perawat Junior. Saya taksir usianya dua puluh-an. Masing-masing memperkenalkan diri kepada kami sebagai Gudrun dan Julie. Merekalah yang akan membantu proses persalinan. Cardiotography (alat pengukur kontraksi) mulai dipasang. Lengkap dengan sekantong cairan infus yang digantungkan pada sebuah tongkat. Gudrun sempat menawarkan segelas teh pada suami yang sedang berpuasa. Ia menolaknya, tentu saja. 
Julie lebih enerjik lagi. Sembari memeriksa ketersediaan peralatan medis, tak henti-hentinya dia bertanya tentang Indonesia, tentang nama yang kami siapkan untuk si bayi dan tentang kesan-kesan kami selama tiga tahun tinggal di Jerman. Perempuan berkewarga-negaraan Perancis ini juga bercerita mengenai perjalanan keluarga dan studinya dari Perancis ke Jerman. Dari obrolan ini, kami punya kesimpulan yang sama: makanan orang Jerman itu sehat tapi hambar dan membosankan.
Sementara Gudrun dan Julie bergantian keluar masuk ruangan, kontraksi mulai sering saya rasakan. Saya dan suami mempraktikkan gerakan-gerakan untuk mengurangi nyeri kontraksi yang sebelumya telah kami pelajari. Suami memakai kain yang ia siapkan dari rumah. Setiap kontraksi, ditangkupkannya kain itu menutupi bagian pinggul dan pantat saya, sambil digoyang-goyang.
<><><><> 
Jam menunjukkan pukul 11 ketika seorang dokter wanita ikut masuk ke dalam ruang bersalin. Dokter meminta izin untuk memecahkan air ketuban untuk memudahkan turunnya bayi ke jalan lahir. Saya sempat kaget, karena ternyata lapisan air ketuban saya belum benar benar pecah, ini yang menjadikan gerak si bayi tidak maksimal.  
Setelah dipecahkan, air ketuban dalam jumlah yang banyak menyembur keluar. Julie dengan sigap menampung rembesan-rembesan itu pada tampon-tampon yang telah ia siapkan. Sangking banyaknya, ia berseloroh, “Yunita… sekarang kamu tahu mengapa perutmu terlihat sangat besar. Hampir setengah isinya adalah air...“. Kami yang di ruanganpun tertawa. Kemampuan Julie mengusir ketegangan menjadi salah satu hal yang akan sangat bermanfaat  di jam-jam yang akan datang.
Detik demi detik kami lalui di ruang bersalin. Meskipun sudah pernah mengalami persalinan normal sebelumnya, kode dari otak saya bahwa rasa ngilu yang sama pernah saya alami tidak lantas membuat saya bisa menikmati setiap kontraksi yang datang. Suami bernjak ke atas kasur bersalin yang ukurannya hampir dua kali lipat kasur normal. Usapan tangannya pada bagian pinggul membantu mengurangi rasa nyeri. Sesekali ia menawarkan kurma, roti atau air. 
Gudrun dan Julie masih bergantian keluar masuk ruangan. Kalau Julie cerewet, Gudrun sebaliknya. Dia bahkan masih sempat tertidur di atas kursinya ketika menunggui kami. Saya faham. Bagi ibu yang akan melahirkan, menunggu pembukaan jalan lahir cukup melelahkan. Sementara bagi para penunggu, ini bisa jadi membosankan.
Baru menjelang pukul 12 siang, suasana kamar bersalin yang tadinya tenang mendadak tegang. Saya bergelinjangan semakin sering. Setiap kontraksi datang, saya remas tangan suami, terkadang tangan Julie. Gudrun duduk beringsut di depan saya. Dari posisi ini saya bisa melihat raut mukanya lebih jelas. Terlihat ia sama antusiasnya dengan suami dan Julie. Sementara saya menahan ngilu dan merasakan si bayi bergerak turun, perlahan-lahan.
Hingga hampir setengah jam, Gudrun tak juga mengizinkan saya mengejan. Garis-garis Cardiotography sudah menunjukkan arus gelombang cinta yang semakin sering namun belum cukup kuat.
Demi melihat saya yang ngos-ngosan, tiba-tiba ia berujar, “Yunita... kalau sudah sangat sakit, kamu boleh mengejan, tapi sedikit saja ya…”.
Instruksi yang absurd, pikir saya waktu itu. Bagaimana caranya mengejan yang sedikit saja?. Sayangnya saya tak punya cukup waktu dan tenaga untuk berdebat dengan Gudrun.
Walhasil, sebisa mungkin saya terus menahan untuk tidak mengejan. Tak lama saya rasa, karena lima menit kemudian saya sudah mulai mengejan, kali ini tanpa meminta izin Gudrun.
<><><><> 
Suami tak henti-henti memberikan support verbal sementara kuku-kuku saya entah sudah berapa mili meter telah menembus kulit tangannya. Julie mencontohkan teknik bernafas yang benar. Saya juga sudah pelajari dan latih teknik pernafasan ini jauh-jauh hari. Tapi tetap saja, rasa ngilu yang teramat sangat membuyarkan konsentrasi saya. Pada fase ini, support dan bantuan suami dan para perawat sangat berarti.
Setiap saya kelelahan, Julie mengingatkan setengah berteriak, "kamu bisa Yunita...“. Gudrun berkali-kali mengatakan hal yang sama. "bagus Yunita...“.
Dokter Weiz berdiri memantau di sebelah ujung kasur bersalin. Secara berkala, ia membubuhkan tanda tangan di lembar-lembar Cardiotography. Saya sempat melihatnya menyuntikkan sesuatu  ke cairan infus.
Entah sudah berapa lama saya mengejan dengan berbagai posisi yang berbeda. Mulai menungging, bergelantungan di pegangan kasur, terlentang hingga miring. Posisi terakhir inilah yang paling pas. Sedikit demi sedikit kepala bayi mulai terlihat. Di tengah kelelahan dan kepasrahan saya menjalani perjuangan melahirkan yang seakan tidak berujung, Gudrun memberikan harapan. Ia memegang jari-jari saya dan mengarahkannya ke arah jalan lahir. Saya bisa merasakan batok kepala si bocah, lengkap dengan rambutnya yang tebal.
Tidak hanya saya, semua yang di ruangan juga beristirahat pada masa jeda antar kontraksi. Suami mengelus-elus kepala saya. Julie merenggangkan punggungnya, sementara Gudrun membenahi duduknya meskipun tatapannya tak beranjak dari layar Cardiotography. Saya merasa seperti dirijen sebuah orkestra dan kami berempat adalah pemain-pemain orkestra tersebut.
“ia datang…”, begitulah aba-aba saya setiap kontraksi muncul. Kemudian masing-masing dari kami siap di posisinya.
Lelah dan Frustasi pasti saya rasakan. “sakit, saya tidak kuat lagi”, rajuk saya. Gudrun tidak menanggapi. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk. Ditepuk-tepuknya paha saya pelan. Pasti fase seperti ini sudah sangat sering ia jumpai. Gudrun terlihat bagai makhluk berdarah dingin.
Justru Julie yang cerewet. Dia punya banyak stok mantra:
“kamu kuat Yunita”,
“sebentar lagi kamu akan melihat anak yang kamu kandung sembilan bulan“,
“kamu sudah berusaha sangat bagus sejauh ini, sedikit lagi “,
“kamu pasti tidak sabar melihatnya, bukan?“.
Suami saya lebih pasif dari Julie. Ia hanya mengamini kata-kata Julie sambil sesekali menimpali, “Bunda pasti bisa, Bismillah Bunda”.
Terkadang ia hanyut oleh rajukan saya. Saya tahu dia kasihan melihat saya dan dia juga lelah.
“ia datang…” saya memberi kode.
“Yunita...” Gudrun menimpali. “Kita lakukan sekarang, Tarik nafas dan mengejanlah sekencang-kencangnya“.
Saya menarik nafas dalam sekali. Sambil menerawang ke langit-langit ruangan yang putih bersih saya mengejan. Kali ini lama sekali. “Bismillahirrahmanirrahim”, bisikan hati saya membahana. Untuk beberapa detik, saya tidak mendengar apa-apa kecuali suara nafas saya sendiri. Hingga tiba-tiba saya mendengar jenis suara lain. Suara tangisan.
Tepat ketika saya menoleh ke bawah, kedua tangan Gundur tengah menangkap seorang manusia kecil. “Ma sha’allah.. La Hawla wa la Quwwata illa Billah”.
Dengan sigap Julie memotong plasenta. Si bayi tidak dimandikan terlebih dulu. Dalam balutan cairan putih yang mulai mengering, ia ditelungkupkan ke dada saya. Si manusia kecil bergeliat. Mulutnya maju mundur mencari sesuatu. Seperti tak ingin kalah dengan bundanya, ia berusaha mencari sendiri apa yang ia inginkan, dan dia berhasil.
<><><><>
Menit-menit berikutnya adalah salah satu momen terindah dalam hidup saya dan suami. Tanpa kami sadari, Gudrun dan Julie telah selesai mengerjakan apa yang menjadi tugas mereka. Mereka lantas berpamitan.
"Kami akan memberi waktu pada kalian berdua untuk menikmati momen ini“. "seorang perawat lain akan membantu menyiapkan ibu dan bayi sebelum dibawa ke kamar perawatan“. Ujar Gudrun. Meskipun tentu saja kata-kata ini sudah sering ia ucapkan, saya bisa melihat ketulusan dan kebahagiaan dari tatap matanya.
"Terima kasih mendalam dari kami berdua“. Jawab suami singkat.
"kalian berdua sungguh hebat..“ saya menimpali, "saya tidak akan bisa melakukannya tanpa kalian“.
"Tidak Yunita...“, kali ini giliran Julie. "kamu yang hebat... saya tidak akan pernah melupakan perjuanganmu“.
Julie mengatakan itu sambil jemarinya membuka masker yang sedari awal ia pakai. "dan semoga kamu tidak melupakan wajahku karena akupun akan selalu mengingat wajahmu“. Ucapnya sambil tersenyum kecil.
Kata-kata Julie dan cara dia menutup perjumpaan kami adalah hal terindah kedua yang kutemui hari ini.
 <><><><>
 Selepas keduanya berpamitan, saya dan suami menghabiskan waktu bersama si manusia kecil. Tak bisa saya jelaskan bagaimana bahagianya perasaan saya saat itu. Suami mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya. Kami juga meluangkan waktu sejenak untuk memberi kabar bahagia pada keluarga kami di Freiburg, di Ngawi dan di Nganjuk.
Selang beberapa waktu, seorang perawat lain datang membawakan baki makanan. Ia lantas melakukan pemeriksaan awal pada bayi saya. Si bocah lahir dengan berat 3,8 kg dan semua alat vitalnya menunjukkan tanda-tanda yang baik. Bayi saya lantas dibungkus dengan handuk kuning sebelum suami saya dipersilahkan menggendong anak keduanya.
Si perawat keluar ruangan, hendak menyiapkan berkas kelahiran. Di saat itulah saya merasa lapar. Saya duduk dan lantas berdiri hendak menuju baki.
Baru sejengkal saya melangkah, tiba-tiba kepala saya terasa berat. Saya limbung jatuh ke lantai. Saya masih mendengar sayup-sayup suami saya berteriak kaget. Gambar wajah muka bayi yang baru saya lahirkan muncul sekelibat. Lalu semuanya menjadi gelap.

(Bersambung…)


Sabtu, 30 Mei 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman (Part 3) Momok Bayi Besar dan Drama Menjelang Persalinan

Anak pertama saya, Nabig, dulu lahir dengan berat awal 3,5 kg. Terhitung besar untuk ibu dengan postur seperti saya. Sedari awal kehamilan kedua, saya berikhtiyar “membatasi” pertumbuhan berat si jabang bayi. “cukup 2,8 kg saja ya nak…! nanti besarnya kalau sudah keluar dari perut Bunda saja…!” begitulah yang sering saya bisikkan ke dia. Melahirkan bayi secara normal dengan proses episiotomi (pengguntingan) yang sering saya dengar ceritanya dalam proses lahiran di tanah air membuat kehawatiran yang mendalam dalam diri saya. Meskipun saya diberitahu kalau praktik episiotomi tidak lumrah di Jerman. Tetap saja bayangan gunting di daerah kewanitaan membuat saya merinding.

Karenanya sejak semula, saya memberlakukan pola makan sehat minim karbohidrat. Nasi sebisa mungkin kami jadikan kudapan hanya untuk makan siang. Sementara untuk makan pagi dan malam, asupan protein hewani dan Nabati saya perbanyak. Mulai dari sayuran mentah, buah-buahan, olahan susu, dan daging-dagingan. Cemilan ringan (seperti Chips) keluar secara otomatis dari daftar belanja mingguan. Hingga awal Maret, strategi kami berfungsi dengan baik. Berat badan si jabang bayi ada pada ambang sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda “membesar” berlebihan.

Namun, semua usaha saya gagal total saat Kanselir Jerman mengumumkan Lockdown sebagai respon atas pandemi Covid-19. Terhitung mulai akhir maret, larangan keluar rumah diberlakukan. Pertokoan, perkantoran dan persekolahan ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Apa dampaknya bagi program diet saya?

Pada minggu pertama pemberlakuan Lockdown, panic-buying terjadi di seantero Jerman, termasuk Freiburg. Setiap berbelanja mingguan, suami saya sampai harus membawa tiga tas sekaligus: satu keranjang tarik di sebelah kanan, satu tas belanja di sebelah kiri dan sebuah ransel nangkring di punggung.

Makanan yang menumpuk di rumah plus larangan untuk keluar rumah kecuali berolahraga sebentar membuat saya mengandalkan satu kegiatan untuk mengusir kejenuhan: memasak dan membuat kue tradisional. Tanpa saya duga, ini sukses membuat berat badan jabang bayi meroket tajam di minggu-minggu terakhir menjelang pesalinan.

Dua bulan menjelang melahirkan, saya dan suami harus mencari dan kemudian menentukan dua hal: rumah sakit tempat bersalin dan midwife/ hebamme (dukun bayi) yang akan memantau kondisi ibu dan bayi pasca persalinan.

Saat pertama mengunjungi rumah sakit Diakonie untuk daftar dan cek kamar (di sini lumrah bagi ibu hamil untuk melihat-lihat fasilitas Rumah Sakit terlebih dahulu sebelum menentukan apakah ingin melahirkan atau tidak di Rumah Sakit tersebut), protokol penanggulangan Covid-19 belum diterapkan di Freiburg. Berbeda halnya dengan kunjungan kedua saya, dua minggu sebelum HPL. Di akhir April ini, Rumah Sakit telah disterilkan. Hanya saya saja yang diizinkan masuk, sementara suami menunggu di luar. Bukan di Lobby, tapi benar-benar di luar.

Sebagaimana saya singgung sebelumnya, tes gula darah telah dilakukan oleh dokter kandungan pada akhir trimester kedua. Pada kunjungan kedua ke RS, Dokter memeriksa perut saya dengan pemeriksaan standar menggunakan USG. Ia lalu memeriksa daftar hasil tes laboratorium di buku kehamilan (Mutterpass) saya. Saat itulah si Dokter menyadari kalau tes gula darah yang pernah saya ambil adalah tes kecil. Tanpa ragu-ragu, dia mengisi formulir tes besar (Grosse Untersuchung) dan meminta saya segera menghubungi dokter kandungan.

Yang disebut tes gula darah besar ini adalah pengambilan darah tiga kali. Teknisnya, beberapa hari kemudian saya datang ke Dokter kandungan pagi-pagi untuk diambil darah dalam kondisi berpuasa mulai jam 10 malam di hari sebelumnya. Setelah darah pertama diambil, saya diberikan sirup manis dan diminta menunggu satu jam sebelum darah kedua diambil. Begitulah hingga tiga kali.

Sore harinya hasil lab keluar. Kadar gula di tes pertama dan kedua tertulis wajar sedangkan di tes yang ketiga melebihi batas normal.

Tunggu . . . ! pada saat itu, Saya bersikap biasa-biasa saja. Toh, saya merasa sehat dan bayi di kandungan masih terus aktif bergerak.

Saya merasa dokter kandungan saya saja yang berlebihan. Secara singkat, Dokter menjelaskan bahwa ini namanya diabetes gestasional yaitu meningkatnya gula darah yang jamak terjadi pada ibu hamil. Si Dokter lantas memberi saya nomor telepon bagian Diabetologi di Rumah Sakit Uni Freiburg. Ia meminta saya untuk berkonsultasi pada mereka.

Sesampai di rumah, saya dan suami masih ragu, antara bersikap santai, menuruti insting kami untuk mengabaikan saja saran Dokter atau sebaliknya.

Barulah keesokan harinya, kami menelpon nomor terkait, menceritakan kondisi saya dan meminta dibuatkan jadwal berkunjung. Saya sampaikan juga angka-angka di hasil tes kemarin. Si perawat di ujung telepon nampak sedikit bingung karena slot berkunjung sudah penuh untuk dua minggu ke depan, sementara HPL saya tinggal menghitung hari. Saya menangkap kebingungan si perawat, dan memintanya untuk tidak perlu khawatir jika tidak bisa menemukan slot waktu kosong, “toh cuma diabetes gestasional” kata saya.

Tanpa saya duga, si perawat marah besar. “Anda paham bahaya diabetes Gestasional?”. Saya dan suami tercekat. “Bayi anda bisa kelebihan gula, anda bisa mengalami kesulitan dalam persalinan, anda bisa saja harus melakukan operasi Caesar, kalaupun normal, vagina bisa saja terobek, dan lebih dari itu, anda bisa mengalami pendarahan pasca persalinan”.

Seumur-umur, baru kali ini kami didamprat “orang Jerman”. Kami tak banyak cakap ketika si perawat akhirnya membuatkan jadwal kunjung tepat di HPL, dengan catatan kalaupun di hari tersebut si jabang bayi lahir, jadwalnya otomatis dibatalkan.

Setelah telepon ditutup, saya dan suami berkelakar. Kami mencoba menutupi kekhawatiran kami dengan menertawakan ke”lebay”nan orang Jerman saat menyangkut kesehatan. Namun setelah insiden di telepon itu, saya tidak lagi bisa tidur tenang. Seringkali sebelum beranjak tidur, saya teringat "percakapan" saya di ujung telepon dengan perawat : “Bayi kelebihan gula, kesulitan melahirkan, operasi caesar, vagina robek dan (yang paling parah) pendarahan hebat pasca persalinan”.

Nanti di hari H, saya baru menyesali sikap acuh saya, karena saya mengalami sendiri salah satu dari lima resiko di atas.

Bersambung . . .

Kamis, 28 Mei 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman
(Part 2) Trimester Pertama, Dokter Kandungan dan Standar Pemeriksaan Ibu Hamil di Jerman

Sama dengan kehamilan pertama, kehamilan kedua saya cenderung “flat” dan tidak “neko-neko”. Hampir tidak pernah saya merasa mual apalagi meriang. Saya juga tidak pernah tahu bagaimana rasanya “ngidam”.
Segera setelah dua garis biru muncul, kami mencari informasi tentang dokter kandungan yang cocok. Kriteria pertama adalah “perempuan”. Bukan tanpa alasan. Di sini, setiap kali periksa, dokter kandungan akan melakukan pemeriksaan miss v (vaginal untersuchung) dengan memasukkan satu atau dua jari ke dalamnya sementara meletakkan satu tangan di atas perut. Ini dimaksudkan untuk memeriksa kemungkinan tanda-tanda kista, keputihan abnormal, iritasi, serta penge-chek-an kondisi mulut rahim dan yang paling urgen memastikan air ketuban tidak rembes. Kebayang kan bagaimana tidak nyamannya jika dokter kandungannya laki-laki?
Kriteria kedua adalah “familiar dengan wanita berjilbab”. Dokter jenis ini tidak akan banyak “cing-cong” jika mendapati sesekali seorang muslimah yang sedang hamil mengqodho’ puasa ramadhannya tahun lalu. Ia juga tidak akan sembarangan merekomendasikan vitamin yang ada kandungan ekstrak babinya.
Dua itu saja kriteria yang kami pakai. Sejak menyelesaikan Integration Course (kursus intensif Bahasa Jerman untuk orang asing yang ingin tinggal lama di Jerman), kemampuan berbahasa Inggris si Dokter tidak lagi signifikan. 
Dari tetangga asal Palestina dan teman kursus asal Algeria, saya menemukan Dokter yang pas. Lokasi praktiknya strategis. Tepat di tengah kota Freiburg sebelum persimpangan Bertoldsbrunnen. Dokter kami ramah. Terkadang sok akrab malah. Selalu ia berbasa-basi menanyakan ini-itu tentang Indonesia. Secara umum pelayanannya baik, hanya kadang sangking ramainya, waktu tunggunya melebihi batas wajar.
 Pemeriksaan pertama lancar. Ultrasonografi (USG) telah dan akan dilakukan setiap kunjungan. Segera saya dibuatkan jadwal untuk periksa kembali setiap 4 minggu sekali selama 3 bulan ke depan. Nanti di bulan ke-8 kehamilan, kontrol dan cek USG dijadwalkan sekali dalam empat belas hari.
Asuransi kesehatan di Jerman adalah satu di antara yang terbaik. Ia mencakup hampir semua jenis tindakan kesehatan yang sifatnya kuratif. Asuransi publik yang kami pakai menanggung semua biaya kunjungan ke fasilitas kesehatan sejak awal konsultasi kehamilan hingga nanti melahirkan. Termasuk biaya kunjungan perawat ke rumah lima sampai enam kali pasca melahirkan. Satu-satunya biaya yang kami keluarkan adalah untuk pembelian vitamin yang sebenarnya sunnah saja hukumnya.
Justru yang wajib dan terbilang sering dilakukan adalah serangkaian tes laboratorium. Di setiap kunjungan, tes urin adalah wajib. Tes ini ditujukan untuk pemantauan saluran kemih ibu hamil. Tes darah juga beberapa kali dilakukan. Pada awal kehamilan, sampel darah diambil untuk mengetahui resiko Toksoplasmosis (infeksi parasit T. gondii saat kehamilan, biasanya disebabkan oleh kontak langsung dengan hewan peliharaan yang tidak terawat). Di trimester kedua, darah kembali dites untuk cek kemungkinan adanya virus HIV.  Di waktu yang sama, dilakukan tes Screptococcus Group B (bakteri di daerah kewanitaan). Dalam kasus saya, semuanya negatif.
Yang tidak akan saya lupa adalah tes darah untuk pemantauan kadar gula (diabetes). Tes ini harus saya lakukan hingga dua kali karena pihak rumah sakit tempat saya akan melahirkan sempat meragukan hasil tes pertama oleh Dokter kandungan. Secara lebih rinci akan saya ceritakan di bab empat sekuel ini mengenai kekhawatiran saya tentang “bayi besar”.
Di awal Oktober (usia kandungan 2 bulan), dokter juga memberikan imunisasi Flue (GrippeInfung), tindakan pencegahan yang sangat terasa manfaatnya ketika di bulan Januari, keluarga kami terserang virus H3N2 (Influenza A). Imunisasi Flue ini sangat jamak bagi orang Jerman. Menjelang musim dingin, cuaca dingin dan suhu udara yang lembab membuat tubuh lebih rentan terhadap berbagai jenis virus. 
Saat suami dan si sulung berjuang melawan flue, si ibu hamil sigap memberi back up: mengkompres, memasak, mengukur suhu tubuh, meminumkan obat hingga berbelanja dan menyiapkan buah-buahan serta camilan sehat.
Di saat-saat seperti ini, saya merasa menjadi Wonder Woman, petarung wanita yang tangguh. Sumber tenaga saya adalah cinta, pada suami, pada si sulung dan pada jabang bayi yang akan lahir ke dunia beberapa bulan kemudian.
Bersambung . . .



Selasa, 26 Mei 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman (Part 1) Dua Garis Biru


Hamil dan melahirkan di Jerman tidak pernah masuk dalam “to do list” saya dan suami. Jika pun sekarang terlaksana, itulah mungkin yang disebut dengan “bertemunya kesiapan dan kesempatan”.
Hasrat untuk hamil dan punya “momongan” lagi muncul pertama kali pada kuartal pertama 2019. Suatu pagi saat Nabig ke TK dan Abahnya ke kampus, tinggallah saya sendiri di rumah, memasak untuk makan siang. Tak seperti biasanya, masakan saya matang lebih cepat.
Saya gunakan belasan menit pertama untuk bermain media sosial, dilanjutkan dengan senam “ala-ala” mengikuti arahan video di Youtube.
Saya tak punya alasan untuk pergi belanja karena kulkas masih penuh. Terlalu siang juga untuk menyusul suami untuk nge-date kilat. Lagi pula, dia sedang banyak deadline.
Di tengah-tengah kejenuhan saya, tiba-tiba ide “punya anak lagi” muncul.
Pada prosesnya kemudian, gagasan ini muncul dan tenggelam. Perbincangan saya dan suami seringkali berakhir mengambang tanpa keputusan final.
Kami mulai menimbang untung-ruginya.
Faktor pendukung paling besar adalah “timing”. Jika si jabang bayi lahir awal 2020, usianya tidak akan terlalu muda untuk dibawa pulang ke Indonesia setahun setelahnya. Pada saat itu, saya bisa melanjutkan rencana saya yang tertunda, suami bisa fokus pada karirnya dan Nabig sudah sangat siap menjadi “kakak” yang siaga untuk adiknya.
Adapun pertimbangan yang paling memberatkan adalah faktor “kesiapan”. Dulu setelah dilahirkan, Nabig dilayani oleh ribuan pasang tangan. Ada yang khusus memandikannya, khusus menggendongnya hingga tertidur, khusus memijat bagian perut dan dadanya. Abah dan Bundanya praktis dimanjakan. Angan-angan tentang riweuh-nya punya bayi inilah yang seringkali membuyarkan lamunan tentang kehamilan dan melahirkan di Jerman.
Semakin didiskusikan, semakin tidak ada keputusan. Deadlock.
Hingga suatu ketika di awal Agustus, untuk sebuah urusan, suami bertolak ke Istanbul, dua minggu lamanya. Karena sudah pernah keliling Turki sebelumnya, saya dan Nabig tidak ikut serta.
Banyak drama terjadi di dua minggu pertama kami ditinggal di Jerman sendirian. Mulai Nabig yang tiba-tiba sakit, saya yang entah kenapa suka uring-uringan, sementara Abah sering tidak bisa dihubungi karena satu dan dua hal.
Pada titik inilah, “kangen” itu muncul. Si anak kangen Bapaknya. Si emak kangen suaminya. Si Abah kangen istri dan anaknya. Kangen ini yang membuat dua minggu berasa dua bulan. Ia pula yang secara “bim salabim” memantik munculnya dua garis biru beberapa waktu pasca kepulangan Abah dari Istanbul.
Bersambung . . .    

Sabtu, 05 Oktober 2019



Perlukah Melatih Anak Menghafal Sejak dini?


Kemaren suami seharian ke Berlin. Jadilah beberapa kawan ke rumah masak-masak. Sambil buat pizza dan nyemil mpek-mpek. kami ‘nggremeng ngalor-ngidul’ tentang metode pembelajaran anak di masa kecil kami yang menurut mereka selalu dijejal oleh hafalan dan kurang melatih anak berpikir kritis dan berargumentasi. Do you guys really think that? because I my self don't.
Saya jadi ingat cerita teman saya yang lain yang menyelesaikan S1-nya di Jerman. Kata dia, profesor Jerman tidak butuh jawaban 8 dari pertanyaan 4+4, misalkan. Tetapi mereka ingin mahasiswanya mengetahui filosofi dari penambahan tersebut. Diceritain begini, dulu saya manggut-manggut saja. Namun sekarang saya mulai merasa contoh ini terlalu hiperbolis. Do you guys really think that there is a philosopical argumentation behind 4+4=8? because I my self don't.
Ada juga pendapat bahwa the way of thinking-nya orang-orang Indonesia kurang kreatif, kurang kritis, kurang filosofis dan kurang argumentatif jika dibandingkan orang Jerman. Penyebab utamanya adalah sejak kecil orang Indonesia dituntut banyak sekali menghafal. Do you guys also think that? because I my self don't completely agree with this assumption.
Secara pribadi, saya menyukai model pendidikan di Taman Kanak-Kanak di Jerman di mana anak hanya akan diajari berhitung dan diperkenalkan membaca abjad ketika menginjak bangku SD (7 tahun). Karenanya jangan heran, kalau berkunjung di perpustakaan-perpustakaan umum di sini, anak-anak SD yang besar-besar itu masih kagok membaca buku pelan-pelan. Berbeda dengan banyak TK di Indonesia yang sedari kecil mengajarkan anak mengeja.
Tapi, untuk menyimpulkan bahwa metode ini berbanding lurus dengan masih belum beranjaknya Indonesia dari statusnya sebagai negera berkembang, tentu sangat berlebihan.
Yang saya tangkap dari diskusi kita kali ini adalah bagaimana peran orangtua dalam menyikapi hal ini. Apakah di rumah anak-anak kita juga dijejali hafalan-hafalan, atau merangsang kecerdasan dengan menanggapinya, mengajaknya bermain dan stimulasi lainnya.
Setahu saya ada beberapa aspek yang harus dibangun oleh orangtua dalam mendidik anak: Perkembangan Kognitif, psikomotorik, emosional dll.
Jika bunda mendapati anaknya seringkali menanyakan hal-hal yang kelihatannya sepele, jangan pernah berhenti menjawabnya sampai dia terpuaskan, meskipun tentu saja, satu jawaban akan memunculkan pertanyaan lain.
"kenapa sekarang ada lalat nda? Tanya Nabig kepada saya, karena memang selain musim panas, di Jerman tidak ada lalat.
Tugas kita sebagai orang tua untuk mencari jawaban yang benar dan sederhana yang bisa dipahami oleh si anak, dan alhamdulillah suami saya termasuk yang telaten dalam menginfus informasi yang sederhana dan berbasis pengetahuan ke anak.
Bagaimana dengan menghafal surat-surat al-Qur'an sejak dini? Menurut saya jawabannya melampaui dikotomi perlu atau tidak perlu.
Personally, sebagai ibu yang melahirkan, hati saya mak-nyess seperti es ketika anak saya melantunkan ayat-ayat suciNYA.
Alasan yang relijius-emosional.
Kedua, alasan pengajaran dan pembiasaan
Kata pepatah Jawa, ‘Witing tresno jalaran soko kulino’,. Sudah banyak kisah para orang tua yang stress menghadapi anak-anaknya yang kecanduan nonton TV, kecanduan main game di gadget, atau kecanduan menyantap mi instan dan atau makanan manis. “What’s wrong in having a child being addicted to memorizing the Qur’an?” ini kata suami hihi.. Jika hanya ada satu hal yang seorang orang tua Muslim rela anak mereka kecanduan, adalah kecanduan menghafal al-Qur’an.
Bukankah ada banyak metode untuk membuat ‘proses anak menghafal menjadi seperti bermain dan sangat menyenangkan? Bukankah mengajari anak berargumen dan berpikir kritis tidak harus mengambil waktunya untuk menghafal al-Qur’an yang mulia itu? Bukankah ini semua hanya tentang metode, bagaimana dan kapan sebaiknya mengajari anak menghafal al-Qur’an.
Cerdas otak iya, cerdas hati harus, sehat jasmani dan rohani InsyaAllah..



Menulis dan Berburu



العلم صيد والكتابة قيده **** قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة أن تصيد غزالة **** وتتركها بين البرية طالقة

Sekitar  dua belas tahun lalu saya mendapatkan mahfudlot (kata mutiara) diatas dari guru saya. Kalau boleh saya terjemahkan bebas bahwa mahfudlat tersebut mengiaskan ilmu dengan binatang buruan dan dan tulisan sebagai tali kekangnya. ketika misalnya seseorang sudah mendapatkan binatang buruannya, dan meninggalkannya di tengah hutan, maka sudah barang pasti buruannya akan hilang. Sama seperti dengan ilmu. Jika seseorang mencari ilmu dan telah mendapatkannya tapi tidak menulisnya, bisa jadi ia akan lebih mudah melupakannya.

Saat itu saya belum benar-benar paham bagaimana mengaplikasikan perkataan Ali bin Abi Thalib ini di kehidupan nyata saya. Lalu beberapa hari yang lalu saya merenung sejenak tentang menulis, dan saya teringat lagi tentang mahfudlat masa lampau tersebut.  Menulis adalah tentang aksi, bukan hanya tentang ide. Menulis itu seperti orang berburu, ketika mengenai sasaran dan segera di ikat maka dia berhasil di satu proses.

Saya kembalikan lagi ke diri saya saat ini ada beberapa ide-ide menulis tentang A,B,C sampai Z dan tidak jarang saya menundanya untuk menulis, maka saya mau tidak mau harus mengikhlaskan ide tersebut terbang atau suatu saat nanti mungkin saya akan membacanya di tulisan orang lain. Saat ini saya bersukur mempunyai komunitas menulis yang luar biasa mempunya horizon semangat kepenulisan yang kental. Maka inilah yang saya jadikan busur panah, yup.. menurut saya kita tidak hanya perlu mempunyai skill menulis, tapi juga alat untuk mempermudah proses menulis kita. Menyulut semangat kita yang seringkali redam.

Menyimpan ide di memori otak sama saja dengan membiarkannya tertumpuk dan hilang terbawa arus pikiran kita yang lain, atau ketika hendak ingin menulis bingung lagi apa yang hendak ditulis. Tulisan ini saya tulis untuk mengingatkan diri saya sendiri dan teman-teman yang menyempatkan membaca tulisan ini untuk menyegerakan menggerakkan jemarinya, meluangkan waktu untuk menuangkan ide-ide yang menumpuk. Atau bahkan yang belum ada ide, mungkin saja dengan melatih  membiasakan jemari menyentuh tombol-tombol akan mengaktifkan lagi sel-sel otak kita. Membuka memori-memori lama, informasi yang usang untuk diupdate kembali. 
Semangat… !! terimakasih tim Nulisyuk yang sudah menghidupkan lagi literasi generasi Indonesia. 
#nulisyuk
#belajarmenulis
#nulisyukbatch37

Sabtu, 17 Agustus 2019

Feldberg
Tahun pertama di Jerman, kami memang tidak berencana liburan ke negara tetangga. Hal ini karena kami ingin mengeksplore tempat-tempat wisata terdekat dahulu. Jangan salah Freiburg memiliki tempat-tempat indah tersembunyi yang wajib kita tahu. dan anggap saja ini adalah liburan termurah kami selama di jerman  hehe....
liburan kali ini, adalah liburan pertama ke lokasi untuk berlatih dan bermain ski. tempat yang paling dikenal untuk berlatih ski di Freiburg, Jerman selatan,  adalah Feldberg. tempat ini cocok untuk pemula belajar ski, serta anak-anak yang bermain seluncuran, karena lika-liku serta tingi-rendahnya salju yang ada disini tidak begitu ekstrim. sehingga digemari bagi pemula pecinta ski. bagi yang sudah mahir tempat ini kurang diminati, karena saking banyaknya pengunjung yang memadati tempat ini, sehingga dirasa kurang puas untuk melaju dengan ketinggian cepat.   



bagi yang hanya ingin coba-coba bermain ski, disini tersedia tempat penyewaan peralatan untuk bermain ski, mulai dari sepatu ski, tongkat, helm..... 
namun, seringkali orang-orang lalai akan pakaian yang harus disiapkan sendiri, yaitu celana untuk bermain ski, (anti air), karena disini tidak menyediakan penyewaan baju-celana ski. 



satu hal menarik lagi dari tempat ini adalah adanya kursus untuk anak ataupun dewasa yang ingin bisa secara baik dan benar berseluncur ski. untuk ongkos penyewaan bisa dilihat di sisni......... 

usai bermain ski, saya saranan untuk memasuki musium yang ada disampingnya. Sepertinya lumayan buat tempat edukasi untuk kita maupun si kecil. Banyak orang berkunjung juga di musium ini, tapiii  tahun ini kami belum sempat memasuki musium tersebut hehehe karena berbagai alasan ya salah satunya anak saya sudah kedinginan, setelah beberapa jam main salju. semoga tahun depan bisa mengunjungi musium ini.