Selasa, 26 Mei 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman (Part 1) Dua Garis Biru


Hamil dan melahirkan di Jerman tidak pernah masuk dalam “to do list” saya dan suami. Jika pun sekarang terlaksana, itulah mungkin yang disebut dengan “bertemunya kesiapan dan kesempatan”.
Hasrat untuk hamil dan punya “momongan” lagi muncul pertama kali pada kuartal pertama 2019. Suatu pagi saat Nabig ke TK dan Abahnya ke kampus, tinggallah saya sendiri di rumah, memasak untuk makan siang. Tak seperti biasanya, masakan saya matang lebih cepat.
Saya gunakan belasan menit pertama untuk bermain media sosial, dilanjutkan dengan senam “ala-ala” mengikuti arahan video di Youtube.
Saya tak punya alasan untuk pergi belanja karena kulkas masih penuh. Terlalu siang juga untuk menyusul suami untuk nge-date kilat. Lagi pula, dia sedang banyak deadline.
Di tengah-tengah kejenuhan saya, tiba-tiba ide “punya anak lagi” muncul.
Pada prosesnya kemudian, gagasan ini muncul dan tenggelam. Perbincangan saya dan suami seringkali berakhir mengambang tanpa keputusan final.
Kami mulai menimbang untung-ruginya.
Faktor pendukung paling besar adalah “timing”. Jika si jabang bayi lahir awal 2020, usianya tidak akan terlalu muda untuk dibawa pulang ke Indonesia setahun setelahnya. Pada saat itu, saya bisa melanjutkan rencana saya yang tertunda, suami bisa fokus pada karirnya dan Nabig sudah sangat siap menjadi “kakak” yang siaga untuk adiknya.
Adapun pertimbangan yang paling memberatkan adalah faktor “kesiapan”. Dulu setelah dilahirkan, Nabig dilayani oleh ribuan pasang tangan. Ada yang khusus memandikannya, khusus menggendongnya hingga tertidur, khusus memijat bagian perut dan dadanya. Abah dan Bundanya praktis dimanjakan. Angan-angan tentang riweuh-nya punya bayi inilah yang seringkali membuyarkan lamunan tentang kehamilan dan melahirkan di Jerman.
Semakin didiskusikan, semakin tidak ada keputusan. Deadlock.
Hingga suatu ketika di awal Agustus, untuk sebuah urusan, suami bertolak ke Istanbul, dua minggu lamanya. Karena sudah pernah keliling Turki sebelumnya, saya dan Nabig tidak ikut serta.
Banyak drama terjadi di dua minggu pertama kami ditinggal di Jerman sendirian. Mulai Nabig yang tiba-tiba sakit, saya yang entah kenapa suka uring-uringan, sementara Abah sering tidak bisa dihubungi karena satu dan dua hal.
Pada titik inilah, “kangen” itu muncul. Si anak kangen Bapaknya. Si emak kangen suaminya. Si Abah kangen istri dan anaknya. Kangen ini yang membuat dua minggu berasa dua bulan. Ia pula yang secara “bim salabim” memantik munculnya dua garis biru beberapa waktu pasca kepulangan Abah dari Istanbul.
Bersambung . . .    

6 komentar: