Sabtu, 30 Mei 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman (Part 3) Momok Bayi Besar dan Drama Menjelang Persalinan

Anak pertama saya, Nabig, dulu lahir dengan berat awal 3,5 kg. Terhitung besar untuk ibu dengan postur seperti saya. Sedari awal kehamilan kedua, saya berikhtiyar “membatasi” pertumbuhan berat si jabang bayi. “cukup 2,8 kg saja ya nak…! nanti besarnya kalau sudah keluar dari perut Bunda saja…!” begitulah yang sering saya bisikkan ke dia. Melahirkan bayi secara normal dengan proses episiotomi (pengguntingan) yang sering saya dengar ceritanya dalam proses lahiran di tanah air membuat kehawatiran yang mendalam dalam diri saya. Meskipun saya diberitahu kalau praktik episiotomi tidak lumrah di Jerman. Tetap saja bayangan gunting di daerah kewanitaan membuat saya merinding.

Karenanya sejak semula, saya memberlakukan pola makan sehat minim karbohidrat. Nasi sebisa mungkin kami jadikan kudapan hanya untuk makan siang. Sementara untuk makan pagi dan malam, asupan protein hewani dan Nabati saya perbanyak. Mulai dari sayuran mentah, buah-buahan, olahan susu, dan daging-dagingan. Cemilan ringan (seperti Chips) keluar secara otomatis dari daftar belanja mingguan. Hingga awal Maret, strategi kami berfungsi dengan baik. Berat badan si jabang bayi ada pada ambang sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda “membesar” berlebihan.

Namun, semua usaha saya gagal total saat Kanselir Jerman mengumumkan Lockdown sebagai respon atas pandemi Covid-19. Terhitung mulai akhir maret, larangan keluar rumah diberlakukan. Pertokoan, perkantoran dan persekolahan ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Apa dampaknya bagi program diet saya?

Pada minggu pertama pemberlakuan Lockdown, panic-buying terjadi di seantero Jerman, termasuk Freiburg. Setiap berbelanja mingguan, suami saya sampai harus membawa tiga tas sekaligus: satu keranjang tarik di sebelah kanan, satu tas belanja di sebelah kiri dan sebuah ransel nangkring di punggung.

Makanan yang menumpuk di rumah plus larangan untuk keluar rumah kecuali berolahraga sebentar membuat saya mengandalkan satu kegiatan untuk mengusir kejenuhan: memasak dan membuat kue tradisional. Tanpa saya duga, ini sukses membuat berat badan jabang bayi meroket tajam di minggu-minggu terakhir menjelang pesalinan.

Dua bulan menjelang melahirkan, saya dan suami harus mencari dan kemudian menentukan dua hal: rumah sakit tempat bersalin dan midwife/ hebamme (dukun bayi) yang akan memantau kondisi ibu dan bayi pasca persalinan.

Saat pertama mengunjungi rumah sakit Diakonie untuk daftar dan cek kamar (di sini lumrah bagi ibu hamil untuk melihat-lihat fasilitas Rumah Sakit terlebih dahulu sebelum menentukan apakah ingin melahirkan atau tidak di Rumah Sakit tersebut), protokol penanggulangan Covid-19 belum diterapkan di Freiburg. Berbeda halnya dengan kunjungan kedua saya, dua minggu sebelum HPL. Di akhir April ini, Rumah Sakit telah disterilkan. Hanya saya saja yang diizinkan masuk, sementara suami menunggu di luar. Bukan di Lobby, tapi benar-benar di luar.

Sebagaimana saya singgung sebelumnya, tes gula darah telah dilakukan oleh dokter kandungan pada akhir trimester kedua. Pada kunjungan kedua ke RS, Dokter memeriksa perut saya dengan pemeriksaan standar menggunakan USG. Ia lalu memeriksa daftar hasil tes laboratorium di buku kehamilan (Mutterpass) saya. Saat itulah si Dokter menyadari kalau tes gula darah yang pernah saya ambil adalah tes kecil. Tanpa ragu-ragu, dia mengisi formulir tes besar (Grosse Untersuchung) dan meminta saya segera menghubungi dokter kandungan.

Yang disebut tes gula darah besar ini adalah pengambilan darah tiga kali. Teknisnya, beberapa hari kemudian saya datang ke Dokter kandungan pagi-pagi untuk diambil darah dalam kondisi berpuasa mulai jam 10 malam di hari sebelumnya. Setelah darah pertama diambil, saya diberikan sirup manis dan diminta menunggu satu jam sebelum darah kedua diambil. Begitulah hingga tiga kali.

Sore harinya hasil lab keluar. Kadar gula di tes pertama dan kedua tertulis wajar sedangkan di tes yang ketiga melebihi batas normal.

Tunggu . . . ! pada saat itu, Saya bersikap biasa-biasa saja. Toh, saya merasa sehat dan bayi di kandungan masih terus aktif bergerak.

Saya merasa dokter kandungan saya saja yang berlebihan. Secara singkat, Dokter menjelaskan bahwa ini namanya diabetes gestasional yaitu meningkatnya gula darah yang jamak terjadi pada ibu hamil. Si Dokter lantas memberi saya nomor telepon bagian Diabetologi di Rumah Sakit Uni Freiburg. Ia meminta saya untuk berkonsultasi pada mereka.

Sesampai di rumah, saya dan suami masih ragu, antara bersikap santai, menuruti insting kami untuk mengabaikan saja saran Dokter atau sebaliknya.

Barulah keesokan harinya, kami menelpon nomor terkait, menceritakan kondisi saya dan meminta dibuatkan jadwal berkunjung. Saya sampaikan juga angka-angka di hasil tes kemarin. Si perawat di ujung telepon nampak sedikit bingung karena slot berkunjung sudah penuh untuk dua minggu ke depan, sementara HPL saya tinggal menghitung hari. Saya menangkap kebingungan si perawat, dan memintanya untuk tidak perlu khawatir jika tidak bisa menemukan slot waktu kosong, “toh cuma diabetes gestasional” kata saya.

Tanpa saya duga, si perawat marah besar. “Anda paham bahaya diabetes Gestasional?”. Saya dan suami tercekat. “Bayi anda bisa kelebihan gula, anda bisa mengalami kesulitan dalam persalinan, anda bisa saja harus melakukan operasi Caesar, kalaupun normal, vagina bisa saja terobek, dan lebih dari itu, anda bisa mengalami pendarahan pasca persalinan”.

Seumur-umur, baru kali ini kami didamprat “orang Jerman”. Kami tak banyak cakap ketika si perawat akhirnya membuatkan jadwal kunjung tepat di HPL, dengan catatan kalaupun di hari tersebut si jabang bayi lahir, jadwalnya otomatis dibatalkan.

Setelah telepon ditutup, saya dan suami berkelakar. Kami mencoba menutupi kekhawatiran kami dengan menertawakan ke”lebay”nan orang Jerman saat menyangkut kesehatan. Namun setelah insiden di telepon itu, saya tidak lagi bisa tidur tenang. Seringkali sebelum beranjak tidur, saya teringat "percakapan" saya di ujung telepon dengan perawat : “Bayi kelebihan gula, kesulitan melahirkan, operasi caesar, vagina robek dan (yang paling parah) pendarahan hebat pasca persalinan”.

Nanti di hari H, saya baru menyesali sikap acuh saya, karena saya mengalami sendiri salah satu dari lima resiko di atas.

Bersambung . . .

Kamis, 28 Mei 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman
(Part 2) Trimester Pertama, Dokter Kandungan dan Standar Pemeriksaan Ibu Hamil di Jerman

Sama dengan kehamilan pertama, kehamilan kedua saya cenderung “flat” dan tidak “neko-neko”. Hampir tidak pernah saya merasa mual apalagi meriang. Saya juga tidak pernah tahu bagaimana rasanya “ngidam”.
Segera setelah dua garis biru muncul, kami mencari informasi tentang dokter kandungan yang cocok. Kriteria pertama adalah “perempuan”. Bukan tanpa alasan. Di sini, setiap kali periksa, dokter kandungan akan melakukan pemeriksaan miss v (vaginal untersuchung) dengan memasukkan satu atau dua jari ke dalamnya sementara meletakkan satu tangan di atas perut. Ini dimaksudkan untuk memeriksa kemungkinan tanda-tanda kista, keputihan abnormal, iritasi, serta penge-chek-an kondisi mulut rahim dan yang paling urgen memastikan air ketuban tidak rembes. Kebayang kan bagaimana tidak nyamannya jika dokter kandungannya laki-laki?
Kriteria kedua adalah “familiar dengan wanita berjilbab”. Dokter jenis ini tidak akan banyak “cing-cong” jika mendapati sesekali seorang muslimah yang sedang hamil mengqodho’ puasa ramadhannya tahun lalu. Ia juga tidak akan sembarangan merekomendasikan vitamin yang ada kandungan ekstrak babinya.
Dua itu saja kriteria yang kami pakai. Sejak menyelesaikan Integration Course (kursus intensif Bahasa Jerman untuk orang asing yang ingin tinggal lama di Jerman), kemampuan berbahasa Inggris si Dokter tidak lagi signifikan. 
Dari tetangga asal Palestina dan teman kursus asal Algeria, saya menemukan Dokter yang pas. Lokasi praktiknya strategis. Tepat di tengah kota Freiburg sebelum persimpangan Bertoldsbrunnen. Dokter kami ramah. Terkadang sok akrab malah. Selalu ia berbasa-basi menanyakan ini-itu tentang Indonesia. Secara umum pelayanannya baik, hanya kadang sangking ramainya, waktu tunggunya melebihi batas wajar.
 Pemeriksaan pertama lancar. Ultrasonografi (USG) telah dan akan dilakukan setiap kunjungan. Segera saya dibuatkan jadwal untuk periksa kembali setiap 4 minggu sekali selama 3 bulan ke depan. Nanti di bulan ke-8 kehamilan, kontrol dan cek USG dijadwalkan sekali dalam empat belas hari.
Asuransi kesehatan di Jerman adalah satu di antara yang terbaik. Ia mencakup hampir semua jenis tindakan kesehatan yang sifatnya kuratif. Asuransi publik yang kami pakai menanggung semua biaya kunjungan ke fasilitas kesehatan sejak awal konsultasi kehamilan hingga nanti melahirkan. Termasuk biaya kunjungan perawat ke rumah lima sampai enam kali pasca melahirkan. Satu-satunya biaya yang kami keluarkan adalah untuk pembelian vitamin yang sebenarnya sunnah saja hukumnya.
Justru yang wajib dan terbilang sering dilakukan adalah serangkaian tes laboratorium. Di setiap kunjungan, tes urin adalah wajib. Tes ini ditujukan untuk pemantauan saluran kemih ibu hamil. Tes darah juga beberapa kali dilakukan. Pada awal kehamilan, sampel darah diambil untuk mengetahui resiko Toksoplasmosis (infeksi parasit T. gondii saat kehamilan, biasanya disebabkan oleh kontak langsung dengan hewan peliharaan yang tidak terawat). Di trimester kedua, darah kembali dites untuk cek kemungkinan adanya virus HIV.  Di waktu yang sama, dilakukan tes Screptococcus Group B (bakteri di daerah kewanitaan). Dalam kasus saya, semuanya negatif.
Yang tidak akan saya lupa adalah tes darah untuk pemantauan kadar gula (diabetes). Tes ini harus saya lakukan hingga dua kali karena pihak rumah sakit tempat saya akan melahirkan sempat meragukan hasil tes pertama oleh Dokter kandungan. Secara lebih rinci akan saya ceritakan di bab empat sekuel ini mengenai kekhawatiran saya tentang “bayi besar”.
Di awal Oktober (usia kandungan 2 bulan), dokter juga memberikan imunisasi Flue (GrippeInfung), tindakan pencegahan yang sangat terasa manfaatnya ketika di bulan Januari, keluarga kami terserang virus H3N2 (Influenza A). Imunisasi Flue ini sangat jamak bagi orang Jerman. Menjelang musim dingin, cuaca dingin dan suhu udara yang lembab membuat tubuh lebih rentan terhadap berbagai jenis virus. 
Saat suami dan si sulung berjuang melawan flue, si ibu hamil sigap memberi back up: mengkompres, memasak, mengukur suhu tubuh, meminumkan obat hingga berbelanja dan menyiapkan buah-buahan serta camilan sehat.
Di saat-saat seperti ini, saya merasa menjadi Wonder Woman, petarung wanita yang tangguh. Sumber tenaga saya adalah cinta, pada suami, pada si sulung dan pada jabang bayi yang akan lahir ke dunia beberapa bulan kemudian.
Bersambung . . .



Selasa, 26 Mei 2020

Hamil dan Melahirkan di Jerman (Part 1) Dua Garis Biru


Hamil dan melahirkan di Jerman tidak pernah masuk dalam “to do list” saya dan suami. Jika pun sekarang terlaksana, itulah mungkin yang disebut dengan “bertemunya kesiapan dan kesempatan”.
Hasrat untuk hamil dan punya “momongan” lagi muncul pertama kali pada kuartal pertama 2019. Suatu pagi saat Nabig ke TK dan Abahnya ke kampus, tinggallah saya sendiri di rumah, memasak untuk makan siang. Tak seperti biasanya, masakan saya matang lebih cepat.
Saya gunakan belasan menit pertama untuk bermain media sosial, dilanjutkan dengan senam “ala-ala” mengikuti arahan video di Youtube.
Saya tak punya alasan untuk pergi belanja karena kulkas masih penuh. Terlalu siang juga untuk menyusul suami untuk nge-date kilat. Lagi pula, dia sedang banyak deadline.
Di tengah-tengah kejenuhan saya, tiba-tiba ide “punya anak lagi” muncul.
Pada prosesnya kemudian, gagasan ini muncul dan tenggelam. Perbincangan saya dan suami seringkali berakhir mengambang tanpa keputusan final.
Kami mulai menimbang untung-ruginya.
Faktor pendukung paling besar adalah “timing”. Jika si jabang bayi lahir awal 2020, usianya tidak akan terlalu muda untuk dibawa pulang ke Indonesia setahun setelahnya. Pada saat itu, saya bisa melanjutkan rencana saya yang tertunda, suami bisa fokus pada karirnya dan Nabig sudah sangat siap menjadi “kakak” yang siaga untuk adiknya.
Adapun pertimbangan yang paling memberatkan adalah faktor “kesiapan”. Dulu setelah dilahirkan, Nabig dilayani oleh ribuan pasang tangan. Ada yang khusus memandikannya, khusus menggendongnya hingga tertidur, khusus memijat bagian perut dan dadanya. Abah dan Bundanya praktis dimanjakan. Angan-angan tentang riweuh-nya punya bayi inilah yang seringkali membuyarkan lamunan tentang kehamilan dan melahirkan di Jerman.
Semakin didiskusikan, semakin tidak ada keputusan. Deadlock.
Hingga suatu ketika di awal Agustus, untuk sebuah urusan, suami bertolak ke Istanbul, dua minggu lamanya. Karena sudah pernah keliling Turki sebelumnya, saya dan Nabig tidak ikut serta.
Banyak drama terjadi di dua minggu pertama kami ditinggal di Jerman sendirian. Mulai Nabig yang tiba-tiba sakit, saya yang entah kenapa suka uring-uringan, sementara Abah sering tidak bisa dihubungi karena satu dan dua hal.
Pada titik inilah, “kangen” itu muncul. Si anak kangen Bapaknya. Si emak kangen suaminya. Si Abah kangen istri dan anaknya. Kangen ini yang membuat dua minggu berasa dua bulan. Ia pula yang secara “bim salabim” memantik munculnya dua garis biru beberapa waktu pasca kepulangan Abah dari Istanbul.
Bersambung . . .