Sabtu, 05 Oktober 2019



Perlukah Melatih Anak Menghafal Sejak dini?


Kemaren suami seharian ke Berlin. Jadilah beberapa kawan ke rumah masak-masak. Sambil buat pizza dan nyemil mpek-mpek. kami ‘nggremeng ngalor-ngidul’ tentang metode pembelajaran anak di masa kecil kami yang menurut mereka selalu dijejal oleh hafalan dan kurang melatih anak berpikir kritis dan berargumentasi. Do you guys really think that? because I my self don't.
Saya jadi ingat cerita teman saya yang lain yang menyelesaikan S1-nya di Jerman. Kata dia, profesor Jerman tidak butuh jawaban 8 dari pertanyaan 4+4, misalkan. Tetapi mereka ingin mahasiswanya mengetahui filosofi dari penambahan tersebut. Diceritain begini, dulu saya manggut-manggut saja. Namun sekarang saya mulai merasa contoh ini terlalu hiperbolis. Do you guys really think that there is a philosopical argumentation behind 4+4=8? because I my self don't.
Ada juga pendapat bahwa the way of thinking-nya orang-orang Indonesia kurang kreatif, kurang kritis, kurang filosofis dan kurang argumentatif jika dibandingkan orang Jerman. Penyebab utamanya adalah sejak kecil orang Indonesia dituntut banyak sekali menghafal. Do you guys also think that? because I my self don't completely agree with this assumption.
Secara pribadi, saya menyukai model pendidikan di Taman Kanak-Kanak di Jerman di mana anak hanya akan diajari berhitung dan diperkenalkan membaca abjad ketika menginjak bangku SD (7 tahun). Karenanya jangan heran, kalau berkunjung di perpustakaan-perpustakaan umum di sini, anak-anak SD yang besar-besar itu masih kagok membaca buku pelan-pelan. Berbeda dengan banyak TK di Indonesia yang sedari kecil mengajarkan anak mengeja.
Tapi, untuk menyimpulkan bahwa metode ini berbanding lurus dengan masih belum beranjaknya Indonesia dari statusnya sebagai negera berkembang, tentu sangat berlebihan.
Yang saya tangkap dari diskusi kita kali ini adalah bagaimana peran orangtua dalam menyikapi hal ini. Apakah di rumah anak-anak kita juga dijejali hafalan-hafalan, atau merangsang kecerdasan dengan menanggapinya, mengajaknya bermain dan stimulasi lainnya.
Setahu saya ada beberapa aspek yang harus dibangun oleh orangtua dalam mendidik anak: Perkembangan Kognitif, psikomotorik, emosional dll.
Jika bunda mendapati anaknya seringkali menanyakan hal-hal yang kelihatannya sepele, jangan pernah berhenti menjawabnya sampai dia terpuaskan, meskipun tentu saja, satu jawaban akan memunculkan pertanyaan lain.
"kenapa sekarang ada lalat nda? Tanya Nabig kepada saya, karena memang selain musim panas, di Jerman tidak ada lalat.
Tugas kita sebagai orang tua untuk mencari jawaban yang benar dan sederhana yang bisa dipahami oleh si anak, dan alhamdulillah suami saya termasuk yang telaten dalam menginfus informasi yang sederhana dan berbasis pengetahuan ke anak.
Bagaimana dengan menghafal surat-surat al-Qur'an sejak dini? Menurut saya jawabannya melampaui dikotomi perlu atau tidak perlu.
Personally, sebagai ibu yang melahirkan, hati saya mak-nyess seperti es ketika anak saya melantunkan ayat-ayat suciNYA.
Alasan yang relijius-emosional.
Kedua, alasan pengajaran dan pembiasaan
Kata pepatah Jawa, ‘Witing tresno jalaran soko kulino’,. Sudah banyak kisah para orang tua yang stress menghadapi anak-anaknya yang kecanduan nonton TV, kecanduan main game di gadget, atau kecanduan menyantap mi instan dan atau makanan manis. “What’s wrong in having a child being addicted to memorizing the Qur’an?” ini kata suami hihi.. Jika hanya ada satu hal yang seorang orang tua Muslim rela anak mereka kecanduan, adalah kecanduan menghafal al-Qur’an.
Bukankah ada banyak metode untuk membuat ‘proses anak menghafal menjadi seperti bermain dan sangat menyenangkan? Bukankah mengajari anak berargumen dan berpikir kritis tidak harus mengambil waktunya untuk menghafal al-Qur’an yang mulia itu? Bukankah ini semua hanya tentang metode, bagaimana dan kapan sebaiknya mengajari anak menghafal al-Qur’an.
Cerdas otak iya, cerdas hati harus, sehat jasmani dan rohani InsyaAllah..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar