Semua ibu hamil tahu, satu bulan terakhir menjelang HPL adalah masa-masa yang
secara psikologis melelahkan tapi seru. Mimpi menggendong dan menimang-nimang
bayi menjadi penanda paling lumrah dari wujud "kangen“ dan penasaran yang
amat sangat terhadap kelahiran si buah hati. Setiap kontraksi, seberapapun
kecilnya, menumbuhkan emosi yang campur aduk. Tak terkecuali bagi saya. Di satu
sisi, saya berdoa agar "sinyal-sinyal cinta“ (demikian kami menyebut rasa
ngilu tiap kontraksi) tersebut mempermudah si kecil mencari jalan lahirnya. Di
sisi lain, seringkali saya was-was jika si bocah memaksakan keluar sebelum ia
benar-benar siap (baca: prematur).
Oleh dokter kandungan, HPL (Hari Perkiraan Lahir) anak kami ditentukan pada
6 Mei 2020, pertengahan Ramadhan 1441 H. Tepat menjelang pagi di hari tersebut,
saya terbangun dari tidur serasa mendapati kasur saya basah. Saya duduk sejenak
dan meraba perut yang belum menunjukkan tanda-tanda kontraksi. “Kita ke Rumah
Sakit sekarang ya Nak . . .”.
Bergegas saya bangunkan suami yang masih lelap tidur. Tanpa banyak kata saya tunjukkan kepadanya rembesan air di kasur.
Ia mafhum dan kamipun melakukan langkah-langkah yang telah kami rencanakan
sebelumnya. Pelan-pelan saya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Suami
mengambil kasur dan memasukkannya ke dalam mesin cuci, mengangkat kasur dan
meletakkannya di balkon serta mengepel bagian-bagian lantai yang lengket.
Sementara saya
sarapan seadanya, suami menelepon Mbak Akrimi yang sudah sejak jauh hari kami
minta kesediaannya untuk datang sewaktu-waktu diperlukan. Dua puluh menit
kemudian, ia datang. Mbak Akrimi dan suaminya akan menemani Nabig (anak pertama
kami) di rumah sementara Abah-Bundanya ke Rumah Sakit.
Sekitar pukul 7 pagi, taxi yang mengantar kami tiba di Rumah Sakit. Protokol
Covid-19 masih berlaku. Hanya saya yang diperbolehkan masuk, sementara suami
menunggu di luar. Bergegas saya diantarkan ke bagian persalinan dan diperiksa.
Benar saja, air ketuban telah merembes. Si dokter jaga melakukan USG untuk
memastikan seberapa banyak cairan tersisa. Tak lama berselang, dokter Weiz datang. Ia adalah dokter yang dulu memeriksa saya waktu berkunjung ke Rumah Sakit. Olehnya, diputuskan agar saya dirawat inap. Meskipun jumlah air ketuban
di dalam rahim masih cukup, saya diminta untuk beristirahat total di Rumah
Sakit. Saya minta suami lebih dahulu pulang. Nabig lebih butuh dia di
rumah dari pada saya. Sejak Lockdown, taman kanak-kanaknya diliburkan hingga
waktu yang belum ditentukan.
Saya diantar
menuju kamar rawat inap. Keramahan si perawat yang menemani saya sejak awal tidak
cukup menghilangkan kekhawatiran dan pikiran-pikiran buruk. Saya berusaha
tenang dan mengingat-ingat apa yang saya alami pada kehamilan pertama. Waktu
itu, ketuban juga merembes terlebih dahulu menjelang malam. Baru keesokan
harinya saya melahirkan. Jika mengikuti pola ini, seharusnya besok atau paling
cepat nanti malam saya melahirkan bayi kedua.
Tapi ada yang
berbeda. Di kehamilan pertama, kontraksi secara teratur bermunculan pasca
merembesnya air ketuban. Kali ini tidak.
<><><><>
Kontraksi baru muncul menjelang tengah malam, sekitar pukul 9 pm. Kekuatan
serta intensitasnya masih lemah dan belum konstan, kadang 10menit sekali, berikutnya setengah jam baru datang lagi. Saya menghubungi suami, yang
lantas berinisiatif untuk meminta teman kami yang lain untuk menginap
di rumah agar suami bisa segera menyusul ke Rumah Sakit setelah santap sahur
dan menunaikan solat subuh keesokan harinya.
Praktis, malam itu saya tidak bisa tidur. Deg-degan tentu saja. Rasanya
seperti seorang prajurit yang hendak pergi ke medan perang. Sebisa mungkin saya
berdoa, membaca ayat kursi, Falaq binnas, serta surat apapun yang terlintas di
benak saya. Tapi saya sangat bersukur, atas kontraksi alami, signal cinta dari buah hati datang tanpa harus di rangsang terlebih dahulu. Waktu terasa melambat. Ingin rasanya
saya putar sendiri jarum jam dinding yang dengan angkuhnya menari-nari di atas
kegelisahan saya hingga tertidur pulas.
Menjelang subuh
saya bangun, demi mendapati seorang perawat mendorong kasur saya keluar ruangan,
menuju kamar bersalin. Mulai jam 3 pagi, ketuban semakin merembes, demikian kontraksi sudah konstan dan kuat datang setiap lima menit sekali. Sebelumnya memang saya sudah diberi tahu bahwa suami boleh menemani ke rumah sakit saat kontraksi kuat sudah datang. Jam lima pagi kemudian datanglah suami saya menuju kamar bersalin membersamai saya. Sebelum memulai mengejan satu hal yang saya harus ingat, adalah menjaga energi dan stamina untuk mendorong si jabang bayi keluar. Saya sempatkan menyantap sarapan dan tidur sejenak, meski harus
bangun setiap beberapa menit dikarenakan ngilu yang semakin menguat.
Sekitar pukul
9, dua wanita masuk ke kamar bersalin: seorang perawat setengah baya dan
seorang perawat Junior. Saya taksir usianya dua puluh-an. Masing-masing memperkenalkan diri kepada kami
sebagai Gudrun dan Julie. Merekalah yang akan membantu proses persalinan. Cardiotography
(alat pengukur kontraksi) mulai dipasang. Lengkap dengan sekantong cairan infus
yang digantungkan pada sebuah tongkat. Gudrun sempat menawarkan segelas teh
pada suami yang sedang berpuasa. Ia menolaknya, tentu saja.
Julie lebih enerjik lagi. Sembari memeriksa ketersediaan peralatan medis, tak henti-hentinya dia bertanya tentang Indonesia, tentang nama yang kami siapkan untuk si bayi dan tentang kesan-kesan kami selama tiga tahun tinggal di Jerman. Perempuan berkewarga-negaraan Perancis ini juga bercerita mengenai perjalanan keluarga dan studinya dari Perancis ke Jerman. Dari obrolan ini, kami punya kesimpulan yang sama: makanan orang Jerman itu sehat tapi hambar dan membosankan.
Julie lebih enerjik lagi. Sembari memeriksa ketersediaan peralatan medis, tak henti-hentinya dia bertanya tentang Indonesia, tentang nama yang kami siapkan untuk si bayi dan tentang kesan-kesan kami selama tiga tahun tinggal di Jerman. Perempuan berkewarga-negaraan Perancis ini juga bercerita mengenai perjalanan keluarga dan studinya dari Perancis ke Jerman. Dari obrolan ini, kami punya kesimpulan yang sama: makanan orang Jerman itu sehat tapi hambar dan membosankan.
Sementara Gudrun dan Julie bergantian keluar masuk ruangan, kontraksi mulai
sering saya rasakan. Saya dan suami mempraktikkan gerakan-gerakan untuk
mengurangi nyeri kontraksi yang sebelumya telah kami pelajari. Suami memakai
kain yang ia siapkan dari rumah. Setiap kontraksi, ditangkupkannya kain itu
menutupi bagian pinggul dan pantat saya, sambil digoyang-goyang.
<><><><>
Jam menunjukkan pukul 11 ketika seorang dokter wanita ikut masuk ke dalam
ruang bersalin. Dokter meminta izin untuk memecahkan
air ketuban untuk memudahkan turunnya bayi ke jalan lahir. Saya sempat kaget, karena ternyata lapisan air ketuban saya belum benar benar pecah, ini yang menjadikan gerak si bayi tidak maksimal.
Setelah
dipecahkan, air ketuban dalam jumlah yang banyak menyembur keluar. Julie dengan
sigap menampung rembesan-rembesan itu pada tampon-tampon yang telah ia siapkan.
Sangking banyaknya, ia berseloroh, “Yunita…
sekarang kamu tahu mengapa perutmu terlihat sangat besar. Hampir setengah
isinya adalah air...“. Kami yang di ruanganpun tertawa. Kemampuan Julie
mengusir ketegangan menjadi salah satu hal yang akan sangat bermanfaat di jam-jam yang akan datang.
Detik
demi detik kami lalui di ruang bersalin. Meskipun sudah pernah mengalami
persalinan normal sebelumnya, kode dari otak saya bahwa rasa ngilu yang sama pernah saya
alami tidak lantas membuat saya bisa menikmati setiap kontraksi yang
datang. Suami bernjak ke atas kasur bersalin yang ukurannya hampir dua kali
lipat kasur normal. Usapan tangannya pada bagian pinggul membantu mengurangi
rasa nyeri. Sesekali ia menawarkan kurma, roti atau air.
Gudrun dan Julie masih bergantian keluar masuk ruangan. Kalau Julie cerewet, Gudrun sebaliknya. Dia bahkan masih sempat tertidur di atas kursinya ketika menunggui kami. Saya faham. Bagi ibu yang akan melahirkan, menunggu pembukaan jalan lahir cukup melelahkan. Sementara bagi para penunggu, ini bisa jadi membosankan.
Gudrun dan Julie masih bergantian keluar masuk ruangan. Kalau Julie cerewet, Gudrun sebaliknya. Dia bahkan masih sempat tertidur di atas kursinya ketika menunggui kami. Saya faham. Bagi ibu yang akan melahirkan, menunggu pembukaan jalan lahir cukup melelahkan. Sementara bagi para penunggu, ini bisa jadi membosankan.
Baru
menjelang pukul 12 siang, suasana kamar bersalin yang tadinya tenang mendadak tegang.
Saya bergelinjangan semakin sering. Setiap kontraksi datang, saya remas
tangan suami, terkadang tangan Julie. Gudrun duduk beringsut di depan saya. Dari
posisi ini saya bisa melihat raut mukanya lebih jelas. Terlihat ia sama
antusiasnya dengan suami dan Julie. Sementara saya menahan ngilu dan merasakan si
bayi bergerak turun, perlahan-lahan.
Hingga
hampir setengah jam, Gudrun tak juga mengizinkan saya mengejan. Garis-garis
Cardiotography sudah menunjukkan arus gelombang cinta yang semakin sering namun
belum cukup kuat.
Demi melihat saya yang
ngos-ngosan, tiba-tiba ia berujar, “Yunita... kalau sudah sangat sakit, kamu
boleh mengejan, tapi sedikit saja ya…”.
Instruksi yang absurd,
pikir saya waktu itu. Bagaimana caranya mengejan yang sedikit saja?. Sayangnya
saya tak punya cukup waktu dan tenaga untuk berdebat dengan Gudrun.
Walhasil, sebisa
mungkin saya terus menahan untuk tidak mengejan. Tak lama saya rasa, karena
lima menit kemudian saya sudah mulai mengejan, kali ini tanpa meminta izin Gudrun.
<><><><>
Suami
tak henti-henti memberikan support verbal sementara kuku-kuku saya entah sudah
berapa mili meter telah menembus kulit tangannya. Julie mencontohkan teknik bernafas
yang benar. Saya juga sudah pelajari dan latih teknik pernafasan ini jauh-jauh
hari. Tapi tetap saja, rasa ngilu yang teramat sangat membuyarkan konsentrasi
saya. Pada fase ini, support dan bantuan suami dan para perawat sangat berarti.
Setiap
saya kelelahan, Julie mengingatkan setengah berteriak, "kamu bisa
Yunita...“. Gudrun berkali-kali mengatakan hal yang sama. "bagus Yunita...“.
Dokter
Weiz berdiri memantau di sebelah ujung kasur bersalin. Secara berkala, ia
membubuhkan tanda tangan di lembar-lembar Cardiotography. Saya sempat
melihatnya menyuntikkan sesuatu ke cairan infus.
Entah
sudah berapa lama saya mengejan dengan berbagai posisi yang berbeda. Mulai
menungging, bergelantungan di pegangan kasur, terlentang hingga miring. Posisi
terakhir inilah yang paling pas. Sedikit demi sedikit kepala bayi mulai
terlihat. Di tengah kelelahan dan kepasrahan saya menjalani perjuangan
melahirkan yang seakan tidak berujung, Gudrun memberikan harapan. Ia memegang
jari-jari saya dan mengarahkannya ke arah jalan lahir. Saya bisa merasakan
batok kepala si bocah, lengkap dengan rambutnya yang tebal.
Tidak
hanya saya, semua yang di ruangan juga beristirahat pada masa jeda antar
kontraksi. Suami mengelus-elus kepala saya. Julie merenggangkan punggungnya, sementara Gudrun membenahi duduknya meskipun tatapannya tak beranjak dari layar Cardiotography.
Saya merasa seperti
dirijen sebuah orkestra dan kami berempat adalah pemain-pemain orkestra
tersebut.
“ia datang…”,
begitulah aba-aba saya setiap kontraksi muncul. Kemudian masing-masing dari kami
siap di posisinya.
Lelah dan Frustasi
pasti saya rasakan. “sakit, saya tidak kuat lagi”, rajuk saya. Gudrun tidak
menanggapi. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk. Ditepuk-tepuknya paha saya
pelan. Pasti fase seperti ini sudah sangat sering ia jumpai. Gudrun terlihat bagai
makhluk berdarah dingin.
Justru Julie yang
cerewet. Dia punya banyak stok mantra:
“kamu kuat Yunita”,
“sebentar lagi kamu
akan melihat anak yang kamu kandung sembilan bulan“,
“kamu sudah berusaha
sangat bagus sejauh ini, sedikit lagi “,
“kamu pasti tidak
sabar melihatnya, bukan?“.
Suami
saya lebih pasif dari Julie. Ia hanya mengamini kata-kata Julie sambil sesekali
menimpali, “Bunda pasti bisa, Bismillah Bunda”.
Terkadang ia hanyut
oleh rajukan saya. Saya tahu dia kasihan melihat saya dan dia juga lelah.
“ia datang…” saya
memberi kode.
“Yunita...” Gudrun menimpali. “Kita lakukan sekarang, Tarik nafas dan mengejanlah
sekencang-kencangnya“.
Saya menarik nafas dalam sekali. Sambil menerawang ke langit-langit ruangan yang putih bersih saya mengejan. Kali ini lama sekali. “Bismillahirrahmanirrahim”,
bisikan hati saya membahana. Untuk beberapa detik, saya tidak mendengar apa-apa kecuali suara nafas
saya sendiri. Hingga tiba-tiba saya mendengar jenis suara lain. Suara tangisan.
Tepat ketika saya
menoleh ke bawah, kedua tangan Gundur tengah menangkap seorang manusia kecil. “Ma
sha’allah.. La Hawla wa la Quwwata illa Billah”.
Dengan sigap Julie memotong
plasenta. Si bayi tidak dimandikan terlebih dulu. Dalam
balutan cairan putih yang mulai mengering, ia ditelungkupkan ke dada saya. Si manusia
kecil bergeliat. Mulutnya maju mundur mencari sesuatu. Seperti tak ingin kalah
dengan bundanya, ia berusaha mencari sendiri apa yang ia inginkan, dan dia berhasil.
<><><><>
Menit-menit berikutnya adalah salah satu momen terindah dalam hidup saya dan suami. Tanpa kami sadari, Gudrun dan Julie telah selesai mengerjakan apa yang menjadi tugas mereka. Mereka lantas berpamitan.
Menit-menit berikutnya adalah salah satu momen terindah dalam hidup saya dan suami. Tanpa kami sadari, Gudrun dan Julie telah selesai mengerjakan apa yang menjadi tugas mereka. Mereka lantas berpamitan.
"Kami
akan memberi waktu pada kalian berdua untuk menikmati momen ini“. "seorang
perawat lain akan membantu menyiapkan ibu dan bayi sebelum dibawa ke kamar perawatan“.
Ujar Gudrun. Meskipun tentu saja kata-kata ini sudah sering ia ucapkan, saya
bisa melihat ketulusan dan kebahagiaan dari tatap matanya.
"Terima
kasih mendalam dari kami berdua“. Jawab suami singkat.
"kalian
berdua sungguh hebat..“ saya menimpali, "saya tidak akan bisa melakukannya
tanpa kalian“.
"Tidak
Yunita...“, kali ini giliran Julie. "kamu yang hebat... saya tidak akan
pernah melupakan perjuanganmu“.
Julie
mengatakan itu sambil jemarinya membuka masker yang sedari awal ia pakai. "dan
semoga kamu tidak melupakan wajahku karena akupun akan selalu mengingat wajahmu“.
Ucapnya sambil tersenyum kecil.
Kata-kata
Julie dan cara dia menutup perjumpaan kami adalah hal terindah kedua yang
kutemui hari ini.
Selang beberapa waktu,
seorang perawat lain datang membawakan baki makanan. Ia lantas melakukan pemeriksaan
awal pada bayi saya. Si bocah lahir dengan berat 3,8 kg dan semua alat vitalnya
menunjukkan tanda-tanda yang baik. Bayi saya lantas dibungkus dengan handuk
kuning sebelum suami saya dipersilahkan menggendong anak keduanya.
Si
perawat keluar ruangan, hendak menyiapkan berkas kelahiran. Di saat itulah saya merasa
lapar. Saya duduk dan lantas berdiri hendak menuju
baki.
Baru
sejengkal saya melangkah, tiba-tiba kepala saya terasa berat. Saya limbung jatuh ke
lantai. Saya masih mendengar sayup-sayup suami saya berteriak kaget. Gambar
wajah muka bayi yang baru saya lahirkan muncul sekelibat. Lalu semuanya menjadi
gelap.
(Bersambung…)
You are memang war biasa
BalasHapusLev u slalu
Masa2 melahirkan normal yg sudah banyak yg kulupa, setiap kalimat yg kubaca, membawaku serasa berada disana😄😄